Kurang lebih 54 juta Industri Kecil Menengah (IKM) dan Usaha Kecil
Menengah (UKM) di Indonesia masih mengalami beberapa kendala untuk dapat
ikut berperan serta di dalam pembangunan. Hal itu disebabkan salah
satunya kriteria IKM/UKM setiap Kementerian yang berbeda-beda, seperti
di Kementrian Perindustrian dan Kementerian Koperasi Usaha Mikro Kecil
dan Menengah.
Karena perbedaan itu,
menyebabkan pembinaan dan bantuan Pemerintah tidak 100% tepat
sasarannya, misalnya: Pelatihan QC untuk IKM/UKM otomotif dijadikan
satu dengan IKM/UKM catering, boneka, dan lain lain. Restitusi
pembelian mesin-mesin IKM, dimana mesin-mesin IKM otomotif akan berbeda
dengan IKM pembuat makanan. Besaran perpajakan, penentuan upah
minimum, persyaratan dan biaya mendirikan badan usaha, persyaratan
untuk mendapatkan kredit perbankan/lembaga keuangan, disamakan dengan
perusahaan kategori diluar IKM/UKM.
Hal ini disampaikan oleh
Ketua Umum BKM-PII Dr. Ir. Budhi M Suyitno, IPM dalam sambutannya pada
acara Peer Discussion Group VIII BKM-PII dengan mengangkat tema :
“Pemberdayaan IKM Dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi”, yang
diselenggarakan oleh Badan Kejuruan Mesin Persatuan Insinyur Indonesia
(BKM-PII) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan
Menengah (Ditjen IKM), Kementerian Perindustrian pada tanggal 1 Juli
2013, di Jakarta.
Disamping itu kendala lainnya yang disampaikan,
regulasi pemerintah untuk perijinan yang jumlahnya bisa mencapai
antara 30-40 perijinan, memerlukan biaya yang cukup besar antara Rp.50
–Rp. 100 juta.
Adanya program Triple Helix yang dicanangkan oleh
pemerintah, pada kenyataannya masih belum berjalan dengan baik untuk di
implementasikan oleh IKM/UKM. Besaran KUR yang diberikan paling tinggi
Rp.20 atau Rp. 25 juta bagi UKM mikro, sementara 80% dari kebutuhan
bahan baku masih impor. Harga impor lebih murah dari harga Krakatau
Steel. Pembelian melalui Krakatau Steel atau agennya, ada persyaratan
“minimum quantity”.
Dengan perkembangan teknologi yang semakin
canggih, IKM/UKM harus mengimbanginya dengan memakai mesin-mesin CNC.
Namun tidak didukung dengan tenaga teknisi yang siap pakai. Adanya
keterbatasan para lulusan SMK yang siap pakai, akhirnya satu sama lain
saling bajak membajak. BLK belum bisa memenuhi kebutuhan IKM/UKM.
Dalam
sambutannya juga disampaikan bahwa termin pembayaran PO yang masih
memberatkan IKM/UKM, minimal 1 bulan setelah barang dikirim dan
mengajukan tagihan. Lebih-lebih kalau BUMN, bisa antara 6 bulan sampai
dengan 1 tahun. Hal ini terasa kurang adil.
Dengan datangnya
IKM/UKM dari Jepang, Korea dan Cina – keberadaan IKM/UKM Indonesia
kurang diperhatikan. Jepang membuat kluster industri di Cikarang, 300m2
setiap pabrik dan dibantu oleh pemerintah Jepang, menggunakan CNC
machine dan tidak padat karya, bunga dari Bank Jepang yang sangat
rendah. Kebijakan LCGC-Low Cost Green Car-yang mendorong
perusahaan-perusahaan mobil besar untuk mendirikan 100 industri komponen
baru di Indonesia. Adanya regulasi untuk bermitra dengan perusahaan
lokal, belum ada pihak yang melakukan evaluasi terhadap implementasinya.
Mengakhiri sambutannya Dr. Ir Budhi M Suyitno berharap pembahasan pada Peer Discussion Group ini dapat mencari solusi bagi berkembangnya kehidupan IKM/UKM kita dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi; menyiapkan usulan-usulan perbaikan sistem / peraturan / kebijakan yang sudah ada dan mendorong pemerintah yang berwenang untuk lebih memperhatikan IKM/UKM kita. (yesso)
0 komentar:
Posting Komentar