Pemerintah sejak beberapa waktu yang lalu berupaya mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dengan cara melakukan diversifikasi
dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas. Kebijakan ini juga
secara bertahap mengurangi beban subsidi terhadap BBM sehingga anggaran
Pemerintah dapat dialihkan untuk kepentingan lain seperti pembangunan
infrastruktur, kesehatan maupun pendidikan.
Membengkaknya beban fiskal untuk membiayai anggaran subsidi bahan bakar minyak akhi-akhir ini kembali ramai dibicarakan di berbagai
media. Umumnya pembicaraan terfokus pada wacana untuk mengurangi
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) antara lain ada yang mengusulkan
pemerintah segera menaikkan harga BBM bersubsidi dan ada pula yang
mengusulkan untuk melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi misalnya
dengan menerapkan smart card, pembatasan ukuran silinder kendaraan, dan regionalisasi lokasi SPBU yang menjual BBM bersubsidi, dan sebagainya.
Secara
garis besar usulan tersebut diatas dapat dikelompokkan kedalam usulan
kebijakan berdasarkan mekanisme pasar yaitu menaikkan harga BBM dan
usulan kebijakan non mekanisme pasar berupa penjatahan atau rationing.
Dari seluruh wacana yang dikemukakan tersebut solusi menaikkan harga
BBM merupakan solusi yang paling efektif untuk mengendalikan konsumsi
BBM sekaligus untuk mengurangi beban fiskal bagi membiayai susbsidi BBM.
Sedangkan solusi kebijakan non mekanisme pasar berdasarkan teori maupun
praktiknya akan memerlukan biaya yang cukup besar dalam
pengimplementasiannya dan memiliki moral hazard atau rawan untuk diselewengkan.
Dari simpang siur pembicaraan terkait wacana untuk mengurangi beban fiskal untuk membiayai subsidi BBM, pembicaraan untuk mengalihkan BBM bersubsidi ke gas (Bahan Bakar Gas:BBG atau Liquefied Petroleum Gas for Vehicles:LGV) sebagai bahan bakar kendaraan bermotor hampir tidak terdengar lagi. Padahal diversifikasi bahan bakar kendaraan bermotor ini jika dilakukan bersamaan dengan penaikan harga BBM akan saling mendukung karena konsumen akan memiliki pilihan yaitu membeli BBM dengan harga relatif mahal atau beralih ke gas yang harganya lebih murah.
Dari simpang siur pembicaraan terkait wacana untuk mengurangi beban fiskal untuk membiayai subsidi BBM, pembicaraan untuk mengalihkan BBM bersubsidi ke gas (Bahan Bakar Gas:BBG atau Liquefied Petroleum Gas for Vehicles:LGV) sebagai bahan bakar kendaraan bermotor hampir tidak terdengar lagi. Padahal diversifikasi bahan bakar kendaraan bermotor ini jika dilakukan bersamaan dengan penaikan harga BBM akan saling mendukung karena konsumen akan memiliki pilihan yaitu membeli BBM dengan harga relatif mahal atau beralih ke gas yang harganya lebih murah.
Terkait
diversifikasi ke gas ini, sejak tahun 2007, Pemerintah telah
melaksanakan beberapa program yaitu konversi minyak tanah ke LPG dan
pembangunan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga yang telah
dimulai sejak tahun 2009 dengan jumlah sambungan terpasang yang teraliri
gas bumi sampai dengan tahun 2012 yaitu sebesar 56.137 sambungan rumah
tangga.
Selain
itu, Pemerintah juga membangun SPBG yang telah dimulai sejak tahun 2011
di kota Palembang dan kembali dilanjutkan pada tahun 2012 di Surabaya,
Gresik dan Sidoarjo serta program pembagian converter kit secara
bertahap yang telah berlangsung sejak tahun 2011 yang peruntukan diawali
di wilayah DKI Jakarta, Palembang dan Surabaya.
Dari
beberapa usulan-usulan para pakar, tampaknya pemerintah ragu untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi atau mencabut subsidi BBM 100%, karena
ini akan mendongkrak naik inflasi yang cukup tinggi, dilain pihak
pemerintah juga sudah mulai tampak kerepotan mensubsidi BBM yang semakin
tahun semakin besar menggerus APBN.
Berikut adalah 3 langkah dasar untuk solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut, yang secara garis besar sbb:
1. Subsidi BBM dicabut 100% sehingga mengikuti harga pasar internasional
2. Semua kendaraan pribadi wajib menggunaan Bahan Bakar Non Subsidi
3. Kendaraan
Umum dan Angkutan menggunakan Bahan Bakar Gas, di awal sebelum
infrastruktur CNG selesai, sementara bisa menggunakan Gas LPG atau
Vi-Gas, kemudian setelah infrastruktur CNG selesai di alihkan ke CNG
sesuai dengan perkembangan infrastrutur CNG yang programnya sudah mulai dijalanan oleh kementrian ESDM.
Dengan
mencabut subsidi BBM, maka pemerintah tidak perlu pusing lagi untuk
menganggarkan subsidi BBM dalam APBN nya, dan dengan mengalihkan semua
kendaraan umum dan angkutan untu menggunaan Bahan Bakar Gas maka
diharapan tidak terjadi inflasi yang berlebihan. Selain itu masalah
pengawasan dalam penggunaaan BBM bersubsidi dan BBM non subsidi menjadi tidak sulit, karena semua kendaraan pribadi tanpa kecuali, wajib menggunakan BBM non Subsidi.
Kebutuhan
Bahan Bakar Gas secara nasional tidak terlalu besar karena yang
dikonversi hanyalah kendaraan angkutan saja, dibeberapa SPBU sekarang
sudah ada infrastruktur untuk pengisian Vi-Gas.
Sisa anggaran subsidi BBM yang ada digunakan untuk mensubsidi konverter kit untuk kendaraan angkutan dan kendaraan umum.
Ini
adalah langkah yang paling baik dibandingkan dengan menaikan harga BBM
subsidi, karena akan lebih besar memicu inflasi. Inflasi tidak akan
terjadi signifikan jika kendaraan angkutan memakai BBG sementara harga
BBG malahan lebih rendah dibandingkan BBM yang non subsidi.
Dengan
langkah tersebut maka pencabutan subsidi BBM tidak akan membawa dampak
terlalu banyak bagi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat.
Pelaksanaan nya bisa dimulai secara bertahap per wilayah untuk
penyediaan konverter kitnya. Semoga 3 langkah solusi ini bermanfaat. (Dewa Yuniardi).
0 komentar:
Posting Komentar