Program pemerintah untuk
membebaskan Indonesia dari subsidi BBM pada tahun 2015 terlihat
semakin pesimistis. Hal ini diakibatkan ketidakseriusan pemerintah
dalam menjalankan programnya yang dimulai dari kebijakan yang tidak
konsisten hingga pelaksanaan yang ragu dan tidak siap.
Betul
adanya dalam membebaskan Indonesia dari subsidi BBM pada tahun 2015
harus dilakukan program dengan memberikan kepada rakyat energi altenatif
selain premium yang disubsidi. Tanpa energi alternatif maka program
bebas subsidi tersebut akan sia-sia dan tidak akan berjalan. Energi
alternatif tersebut adalah penggunaan BBG pada kendaraan bermotor untuk
menggantikan bahan bakar minyak (BBM) yang subsidinya hampir mencapai
200 triliun. Kurang lebih 67 % dari pendapatan pertamina sebesar 300
triliun terbuang begitu saja akibat subsidi tersebut. Hanya beberapa
negara di Asia termasuk Indonesia dan beberapa negara di timur tengah
saja diberlakukan subsidi bahan bakar minyak.
Selain
itu penggunaan bahan bakar gas (BBG) mau tidak mau harus
diprogramkan dan dilaksanakan oleh pemerintah mengingat persediaan
minyak dunia semakin menipis dan diperkirakan 25 tahun lagi akan habis,
sementara persediaan gas dunia masih diperkirakan 50 sampai 80 tahun
lagi. 10 tahun yang lalu negara-negara maju dan bahkan beberapa negara
di asia sudah menjalankan program energi alternatif BBG untuk kendaran
bermotornya. Bahkan negara maju seperti negara jerman sebagai tahapan
berikutnya telah melakukan riset besar-besaran untuk menggantikan bahan
bakar minyak atau gas dengan menggunakan tenaga listrik.
Tanpa
harus melihat program pemerintah mengenai pembebasan subsidi BBM pada
tahun 2015, program penggunaan bahan bakar gas (BBG) atau konversi BBG
oleh pemerintah harus serius dijalankan jika pemerintah dan negara
tidak mau terjerat oleh krisis energi masa depan. Belum lagi harga
bahan bakar minyak ditentukan oleh kondisi negara-negara penghasil
minyak dunia yang sedang bergejolak secara politis dan ekonomis,
seperti negara iran yang merupakan penghasil minyak nomor 4 terbesar
didunia yang sedang diembargo oleh banyak negara.
Saat
ini sebenarnya ada dua kendala yang dihadapi
pemerintah dalam menjalankan program konversi bahan bakar gas
yaitu kendala infrastruktur yang belum siap (sering disebut-sebut
oleh pemerintah atau pakar energi) dan kendala konverter kit itu
sendiri yang harus dipasang pada kendaraan bermotor.
Kendala
infrastruktur sebenarnya dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah mengenai penggunaan bahan bakar gas itu sendiri pada
kendaraan seperti penggunaan bahan bakar CNG (Compressed Natural Gas)
atau LGV (Liquid Gas Vehicle). Hanya saja ada perbedaan dari kedua
penggunaan bahan bakar gas tersebut. CNG adalah gas alam berupa
methan (CH4) sedangkan LGV adalah campuran gas hidrokarbon (C3-C4)
yang mana penyusun utamanya adalah propana dan butana. Dikarenakan
susunan kimia kedua gas tersebut maka khusus untuk CNG atau
methan (CH4, yang hanya memiliki 1 karbon) diperlukan
tekanan (pressure) yang tinggi untuk memasukkan gas kedalam
tangki hingga gas tersebut menjadi cair (kurang lebih 200 bar
atau 2800 psi). Dikarenakan jumlah susunan karbon yang banyak maka
untuk LGV diperlukan tekanan rendah untuk memasukkan gas kedalam tabung
hingga cair.
Jadi
untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar gas CNG
diperlukan teknologi instalasi pipa untuk menghindari dampak bahaya
tekanan dalam distribusi bahan bakar gas ke stasiun pengisian BBG.
Sedangkan untuk LGV tidak diperlukan teknologi pipa dan dapat
dilakukan dengan distribusi tangki pada stasiun pengisian BBG. Hal
inilah yang dikatakan oleh pemerintah dan pakar energi Indonesia
sebagai kendala infrastruktur atau infrastruktur yang belum siap
karena kebijakan pemerintah menetapkan gas CNG untuk kendaraan angkutan
umum dan LGV untuk kendaraan pribadi.
Bahkan
pemerintah mengusulkan anggaran sebesar Rp. 960 miliar sebagai dana
penunjang pembangunan infrastruktur tersebut yang mungkin dapat
terlaksana dalam waktu 2 tahun hingga rampung. Jadi keinginan pemerintah
untuk melaksanakan konversi bahan bakar gas pada bulan April ini untuk
tahap awal di Jabodetabek tidaklah mungkin terjadi. Kesiapan
Infrastrukur konversi BBG, diperluas kekawasan Jawa – Bali dan akhirnya
program Indonesia bebas subsidi pada tahun 2015 tidaklah akan
terwujud.
Sebenarnya
kendala utama terletak pada konverter kit yang harus dipasang
pada kendaraan bermotor. Selain harganya mahal sebenarnya kendala
utama lainnya adalah kesiapan tenaga ah li dalam pemasangan
konverter itu sendiri. Hal ini dikarena teknologi otomotif yang
sangat bervariasi dan berbeda satu sama lain. Kendala ini berupa
kendala mikro sedangkan kendala infrastruktur merupakan kendala makro.
Seharusnya kendala mikro menjadi perhatian utama pemerintah setelah
kendala makro. Tidak bisa kendala mikro diselesaikan oleh alih
teknologi dari negara lain dengan hanya membeli konverter kit misalnya
konverter kit dari negara itali karena hal ini menyangkut kebijakan
pemerintah yang saling berkaitan. Seharusnya kendala mikro harus
diselesaikan oleh anak bangsa yang sarat teknologi sehingga kendala
mikro diatasi dengan ahli teknologi bukan alih teknologi.
Dengan
memperhatikan kendala mikro dan penguasaan teknologi mikro maka
sebenarnya sudah ada konverter kit kreasi anak bangsa yang disesuaikan
dengan kebijakan pemerintah. Konverter kit ini lahir setahun yang lalu
untuk membantu rakyat dalam mengatasi antrian kendaraan di SPBU luar
pulau Jawa akibat kelangkaan BBM.
Konverter
kit kreasi anak bangsa dikembangkan dengan menggunakan bahan bakar
gas LPG (Liquid Petroleum Gas) yang merupakan turunan dari LGV (Liquid
Gas Vehicle). Gas ini berlainan dengan gas LGV yang akan
dipergunakan oleh pemerintah distasiun pengisian bahan bakar gas
(SPBU). Jenis gas LGV yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah Vigas
(Vehicle Gas). LPG dan Vigas kedua-duanya merupakan kelompok LGV yang
mana penyusun kimia utamanya adalah propana dan butana. Perbedaannya
terletak pada nilai RON oktannya, untuk LPG nilai oktannya 120 dan
untuk Vigas nilai oktannya sebesar 98. Artinya Vigas yang akan
diterapkan oleh pemerintah sudah disesuaikan oktannya mendekati oktan
pertamax yang besarnya 95. Dengan demikian konverter kit yang
nantinya akan dipergunakan oleh pemerintah tidak begitu berbeda dengan
teknologi mobil saat ini yang menggunakan bahan bakar pertamax.
Solusi
cerdas membantu program pembatasan BBM dengan pengunaan BBG secara
tidak langsung sudah terjawab. Konverter kit kreasi anak bangsa yang
tadinya dipergunakan untuk membantu rakyat dari kelangkaan BBM dapat
juga dipergunakan oleh pemerintah untuk program Indonesia bebas dari
subsidi BBM pada tahun 2015. Seharusnya pemerintah memperhatikan hal ini
karena kebijakan yang dibangun sesuai kebutuhan dalam negeri bukan
kebijakan yang didasari oleh ikut-ikutan menggunakan bahan bakar gas
(BBG).
Program
konversi minyak tanah yang juga merupakan kebijakan pemerintah 5
tahun yang lalu untuk menghapuskan bahan bakar minyak
tanah dan digantikan dengan bahan bakar gas (LPG) sebenarnya
secara tidak langsung sudah melakukan program pemerintah mengenai
konversi bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor. Kesimpulan
ini dapat dimengerti jika pemerintah tidak ikut-ikutan melakukan program
pembatasan BBM dengan konversi BBG yang diterapkan oleh negara lain
yang sudah menggunakan gas. Seharusnya kebijakan pemerintah harus
didasari oleh kondisi dan potensi dalam negeri baik itu potensi sumber
daya alam dan sumber daya manusianya.
Jika
kebijakan pemerintah mengenai pembatasan BBM dengan BBG yang akan
dilaksanakan dapat disesuaikan dan dikembangkan dengan kebijakan
penghapusan minyak tanah 5 tahun yang lalu maka kendala makro mengenai
infrastruktur yang belum siap untuk menjalankan program
Indonesia bebas subsidi pada tahun 2015 secara praktis dan teoritis
dapat diatasi. Kanapa hal ini tidak dilakukan???
Memang
konverter kit dengan menggunakan bahan bakar gas LPG
agak berlainan dengan konverter kit yang akan dipergunakan oleh
pemerintah menggunakan bahan bakar gas Vigas dengan oktan 98. Tetapi
konverter LPG ini telah dikembangkan oleh anak bangsa dan
sarat dengan inovasi. Coba bayangkan jika kendaraan tidak saja
dapat menggunakan LPG tetapi dapat menggunakan BBM, Vigas dan CNG
sekaligus, apakah masalah atau kendala infrastruktur yang selalu
diberitakan dimedia masa dapat diatasi??? Paling tidak sejalan dengan
pembangunan infrastruktur yang memerlukan waktu lama dalam
pelaksanaannya, program konversi bahan bakar gas dapat juga
direalisasikan dengan baik menggunakan bahan bakar gas LPG yang sudah
tersedia diseluruh Indonesia bahkan dipelosok-pelosok atau
dipulau-pulau. Kebijakan pemerintah selanjutnya mengenai konversi bahan
bakar gas (BBG) dapat disesuaikan dan dikembangkan kemudian jika
pembagunan infrastruktur sudah rampung dan siap pakai diseluruh
Indonesia.
Setelah
uji coba menggunakan konverter kit kreasi anak bangsa dan bahan bakar
gas LPG maka didapatkan beberapa keunggulan yaitu :
1. Menggunakan tabung fleksibel
2.
Bahan bakar dapat ditemukan dimana saja sesuai program pemerintah
mengenai penghapusan minyak tanah menggunakan bahan bakar LPG
3. Harga konverter kit yang lebih murah
4. Kreasi anak bangsa yang sarat dengan inovasi dan bukan alih teknologi
menggunakan barang jadi dari negara yang sudah menggunakan gas
5. Konverter kit yang dapat dikembangkan terus menerus dan disesuaikan dengan kebijakan
6. Bahan bakar menjadi lebih murah
Setelah
uji coba didapatkan effisiensi menggunakan konverter kit kreasi anak
bangsa : (uji coba mempergunakan mobil Yaris yang termasuk mobil irit)
Konversi
kg ke liter untuk LPG sesuai berat jenisnya : 1 kg LPG = 1,7 liter LPG
( +/- 2 liter). Jadi 3kg LPG sama dengan 6 liter LPG (Harga Rp.
15.000,-)
Jika
mobil Yaris perbandingan liter dan jarak tempuh menggunakan premium
adalah 1 liter ? 10 km maka untuk 6 liter bensin premium dengan harga
Rp. 27.000,- adalah 60 km. (Rp. 4.500,- per liter).
Jika
dengan bahan bakar gas LPG didapat perbandigan 1 liter : 10 km maka
effisiensi : Rp. 27.000 – Rp. 15.000 = Rp. 12.000,-. Effisiensi
menggunakan tabung 3 kg kurang lebih 45%. Jika dalam 1 bulan pengguna
bahan bakar mengeluarkan dana sebesar Rp. 2.000.000,-/bulan maka
dengan menggunakan BBG akan
terjadi effisiensi sebesar Rp. 2.000.000,- x 45% = Rp. 900.000,-.
Jika
harga gas LGV khususnya Vi gas Rp. 5.600,- per liter yang ditetapkan
oleh pemerintah maka didapatkan harga 6 liter gas Vigas adalah Rp. 5.600
x 6 liter = Rp. 33.600,-. Effisiensi menggunakan tabung 3kg kurang
lebih 55%.
Jika
harga CNG Rp. 3.100,- per liter yang ditetapkan oleh pemerintah
didapatkan harga 6 liter CNG adalah Rp. 3.100 x 6 liter = Rp. 18.600,-.
Efisiensi menggunakan tabung 3kg kurang lebih 20%.
Jadi
jika pemerintah memperbolehkan penggunaan gas LPG 3kg yang disubsidi
maka semua kendala yang dihadapai pemerintah dapat diatasi dan program
Indonesia bebas subsidi pada tahun 2015 akan dapat direalisasikan.
Efiiensi yang sangat baik juga didapat dari penggunaan gas yang relevan
sesuai kebijakan pemerintah lainnya yang sudah berlaku (penghapusan
minyak tanah).
Tetapi
penggunaan tabung LPG 12 kg akan menghasilkan effiensi yang sama walau
tidak disubsidi. Effisiesi juga didapat dari tenaga ahli saat
pemasangan konverter kit dikendaraan bermotor dengan setting dan
tuningnya. Jika tenaga ahli pada saat pemasangan dapat melakukan
setting dan tuning yang baik hingga mendapatkan perbandingan liter dan
jarak tempuh 1 : 15 maka effisiensi akan didapatkan lagi kurang lebih
50%. Jadi begitu dahsyatnya penggunaan konverter kit yang disesuaikan
dengan bahan bakar gasnya. Ingat nilai oktan LPG mencapai 120 bukan 98
sehingga diharapkan didapatkan lagi effisiensi yang baik dari
performance dan pembakaran kendaraan yang sempurna.
Diharapkan
pemerintah dapat melihat momentum dan kesempatan ini serta mendukung
produk dalam negeri kreasi anak bangsa yang selalu didengungkan oleh
pemerintah dan DPR. Tindakan pembiaran konsep dan produk kreasi anak
bangsa ini berjalan sendiri tanpa merangkul bahkan duduk bersama
membahas semua kendala akan dapat menjadi bumerang bagi pemerintah
itu sendiri. Mengayomi dan membantu produk kreasi anak bangsa
ini sejalan dengan program pemerintah yang penuh dengan
problematikanya seharusnya menjadi perhatian khusus dan secara langsung
mendapat dukungan penuh dari semua pihak yang semuanya ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat. Kepentingan pribadi dan kelompok seharusnya
disingkirkan demi kepentingan yang lebih besar yaitu untuk kepentingan
dan kebutuhan rakyat Indonesia.(Dewa Yuniardi & Dip. Ing A Hakim Pane)
0 komentar:
Posting Komentar